“Mengetahui permasalahan haid merupakan hal yang sangat urgen, sebab ia berkaitan dengan banyak hukum; seperti thaharah, shalat, membaca al quran, puasa, I’tikaf, haji, penentuan usia baligh, hubungan badan, talak, ‘iddah dan masih banyak permasalahan lain yang memiliki kaitan erat dengan haid” .
Para ulama bersepakat bahwa darah yang keluar dari organ kewanitaan seorang perempuan ada tiga macam, yaitu haid, nifas, istihadh dan Imam syafi’i menambahkan yang keempat yaitu darah fasid.
Secara ringkas, nifas adalah darah yang keluar dari organ kewanitaan selepas melahirkan, sedangkan istihadah adalah darah yang keluar di luar kebiasaan dan bukan merupakan darah haid. Adapun darah fasid yang dimaksud oleh Syafi’iah adalah darah yang keluar dari organ kewanitaan sebelum menginjak usia 9 tahun, darah itu tidak dikategorikan darah istihadah, sebab darah istihadah keluar dari wanita yang pernah haid.
Adapun haid atau menstruasi merupakan proses alami yang dialami setiap perempuan. Haid merupakan indikasi dari seorang perempuan siap bereproduksi atau menghasilkan keturunan. Proses ini umumnya terjadi pada saat perempuan memasuki usia 9-12 tahun. Lalu kemudian proses haid akan berhenti sama sekali pada saat perempuan memasuki usia 40-50 tahun. Proses berhentinya haid pada usia tersebut dikenal sebagai istilah menopause.Proses menstruasi adalah terjadinya proses pendarahan yang disebabkan luruhnya dinding rahim sebagai akibat tidak adanya pembuahan. Kondisi sakit atau tidaknya maupun status kelancaran tidaknya menstruasi seseorang dipengaruhi oleh hormon. Namun demikian masih juga ada faktor lainnya, yakni pengaruh faktor psikis.
Haid ini dijalani oleh seorang wanita pada masa-masa tertentu, paling cepat satu hari satu malam, dan paling lama lima belas hari. sedangkan mayoritas wanita haid selama enam atau tujuh hari. Masa suci paling cepat adalah lima belas hari dan tidak ada batas maksimalnya. Akan tetapi, biasanya mayoritas wanita menjalani masa suci selama adalah 23 atau 24 hari.
Dalam menjalani masa haid ini, wanita dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu:
1. Wanita yang baru menjalani masa haid (al Mubtadi`ah)
yaitu wanita yg baru pertama kali mengeluarkan haid. Ketika itu dia berkewajiban meninggalkan shalat, puasa dan hubungan badan, hingga datang masa suci. Apabila masa haid itu telah selesai dalam satu hari atau paling lama lima belas hari, maka dia berkewajiban untuk mandi dan mengerjaan shalat. Apabila setelah 15 hari darah tersebut masih tetap keluar, maka dia dianggap mengalami masa istihadhoh..
2. Wanita yang telah terbiasa menjalaninya (al Mu’tadah)
yaitu, wanita yang mempunyai hari-hari tertentu pada setiap bulannya untuk menjalani masa haidnya. Pada hari-hari tersebut, dia harus meninggalkan shalat, puasa dan berhubungan badan. Apabila dia melihat darah berwarna kekuning-kuningan atau berwarna keruh setelah hari-hari haidnya tersebut, maka dia tidak perlu menghitungnya sebagai darah atau haid.
3. Wanita yang mengalami keluarnya darah istihadhah (al Mustahadhah)
yaitu, wanita yg mengeluarkan darah secara terus menerus melebihi kebiasaan masa haid. Tetapi masih berkewajiban untuk menjalankan shalat, karena merupakan darah penyakit.
Mengkonsumsi Obat Anti Haid
• Tinjauan Medis
Menstruasi atau haid bagi sebagian perempuan merupakan peristiwa yang ditunggu-tunggu setiap bulannya, tetapi ada sebagian yang ingin menundanya. Contohnya, pasangan pengantin baru yang akan berbulan madu dan perempuan yang akan menjalankan ibadah haji. Larangan perempuan sedang haid menjalankan ibadah haji membuat banyak pihak mencari upaya untuk menunda kedatangan “tamu bulanan” tersebut.
“Di masa lalu, penundaan haid dilakukan dengan mengkonsumsi makanan tertentu seperti daun pepaya. Namun, upaya itu tidak terlalu efektif, karena haid bisa saja datang tiba-tiba. Biasanya, perempuan yang siap berhaji akan merasa menyesal yang luar biasa. Karena haji kan dilaksanakan satu tahun sekali, selain itu biayanya juga mahal,” kata Prof Dr Ali Baziad Sp OG (K), Kepala Divisi Imunoendokrinologi, Departemen Obgin, FKUI/RSCM. Namun, Prof Ali menambahkan, teknologi kedokteran yang berkembang pesat memungkinkan penundaan haid melalui terapi hormonal. Haid bisa diatur sesuai dengan keinginan, yaitu bisa dimajukan atau dimundurkan. Kebanyakan pasien meminta untuk dimundurkan.
Menurut Prof Ali Baziad, SpOG (K), pengaturan siklus haid bisa dilakukan dengan menggunakan pil hormon. Saat ini ada tiga jenis hormon yang bisa dipilih, yakni progestin (progesteron saja), kombinasi estrogen dan progesterone (pil KB), serta GnRH agonis yang berbentuk suntik.
“Pil progesteron tersebut dikonsumsi satu bulan sebelum ibadah haji atau 14 hari sebelum haid”.
Haid merupakan peristiwa terjadinya peluruhan lapisan dalam dinding rahim yang timbul pada suatu periode tertentu. Pada periode siklus haid dikenal adanya fase-fase haid, yaitu fase prolifase, yang berlangsung pada hari ke 5-14. Pada fase itu pematangan folikel di ovarium didominasi hormon estrogen untuk pembentukan lapisan fungsionalis.
Selanjutnya fase transformasi yang berlangsung pada hari ke 14-21 yang mana sel telur (ovum) siap untuk dibuahi. Fase itu didominasi hormon progesteron. Fase sekresi berlangsung pada hari ke 21-28. Pada fase itu terjadi penurunan kadar hormon estrogen dan progesteron bila sel telur tidak dibuahi.
“Penurunan kadar hormon progesteron itulah yang menyebabkan terjadinya peluruhan dinding rahim yang tadinya menebal sebagai persiapan lokasi implantasi atau berkembangnya janin. Peluruhan itu disebut fase menstruasi”. Cara kerja pil hormon, haid berhenti karena tubuh memperoleh hormon dari luar, akibatnya kerja hormon di otak terhambat dan sel telur tidak bisa matang.
Riset yang dilakukan Prof Dr Biran Affandi, SpOG (K) selama 10 tahun terhadap 45 perempuan berusia 25-42 tahun, yang menginginkan penundaan haid untuk ibadah haji menunjukkan bahwa pil hormon progesterone “norethisterone” efektif menunda haid hingga 100 persen.
Meski penggunaan pil hormon tergolong aman namun orang yang ingin mengonsumsinya sebaiknya dikonsultasikan dengan dokter.
Kendati penelitian telah menunjukkan keberhasilan pil hormon dalam menunda haid, namun tetap ada efek samping yang perlu diketahui. Pada beberapa orang bisa muncul vlek atau spotting noda darah. Namun hal itu normal dan bukan darah haid sehingga ibadah tetap bisa dilanjutkan.
• Tinjauan Syari’ah
Lalu bagaimana hukum mengkonsumsi obat anti haid?
Ada dua kemungkinan seseorang mengkonsumsi obat anti haid, pertama, menunda haid sedangkan yang kedua adalah sebaliknya, yaitu menyegerakannya. Namun, sebelum kita menelaah lebih jauh tentang hukum mengkonsumsi obat anti haid ini, ada beberapa hal yang harus kita ketahui bersama:
1. Pengajuan atau penundaan haid akan berdampak pada masa iddah bagi seorang wanita.
2. masalah ini juga akan berkaitan dengan masalah hubungan suami-istri bagi para suami yang biasa mengadakan safar panjang.
3. akan berkaitan erat juga dengan puasa, shalat, membaca al-quran, haji dan yang lainnya.
4. Seorang muslim tidak dibebani untuk mencari sebab-sebab yang mewajibkannya melakukan suatu ibadah. Contoh sederhana, seorang tidak diwajibkan untuk mengumpulkan harta agar dia dapat mengeluarkan zakat.
Jika seorang wanita mengkonsumsi obat anti haid sebelum datang atau sebelum habis masa kebiaannya apakah dia menjadi suci? Sehingga hukum-hukum yang berlaku bagi wanita haid tidak lagi harus diindahkannya?
Atau sebaliknya, jika seorang wanita mengkonsumi obat untuk meyegerakan datangnya haid, apakah dia dihukumi sebagai wanita haid? Sehingga diberlaukan padanya hukum-hukum yang berlaku bagi wanita haid secara normal?.
Tidak ada ulama dari kalangan salaf yang membahas masalah ini secara detail selain ulama Malikiah.
Mari kita lihat jawaban dari dua pertanyaan di atas satu demi satu.
Jawaban untuk pertanyaan pertama, para ulama Malikiah berbeda pendapat dalam hal ini, pendapat pertama, melihat bolehnya melakukan hal ini, namun hukumnya makruh karena berpotensi mendatangkan efeksamping negatif.
Imam Ash Shawi mengatakan, “Wanita yang mengkonsumsi obat anti haid agar darahnya tidak keluar pada waktu kebiasaannya, dan usahanya itu berhasil, maka dia dihukumi sebagai wanita suci”. Perkataan ini beliau nukil dari Ibn Qasim.
Sementara Ibnu Kinanah mengutarakan, “Wanita yang memiliki kebiasaan haid delapan hari misalnya, lalu dia mengkonsumsi obat anti haid pada hari keempat untuk mencegah keluarnya darah pada lima hari sisanya, maka wanita itu dihukumi suci.
Maka berdasarkan pendapat ini, wanita tesebut dihukumi suci dari haid, maka wajib baginya menjalankan seluruh ibadah yang diwajibkan kepada wanita suci.
Pendapat kedua, melarang mengkonsumsi obat anti haid. Dan wanita yang mengkonsumsinya tetap dianggap sebagai wanita haid. Pendapat ini adalah pendapat tunggal dari kalangan ulama malikiah, yaitu pendapat Ibnu Firhaun.
Jawaban untuk pertanyaan kedua, yaitu hukum mengkonsumsi obat untuk mempercepat turunnya darah haid sebelum datang waktu kebiasaannya. Hukumnya adalah makruh, darah yang keluar pun tidak dianggap darah haid pada kaitannya dengan hukum iddah dan istibra`, karena darah tersebut tidak keluar secara alami. Adapun kaitannya dengan ibadah, Abdullah al Manufi tidak memberikan pendapat, karena tidak adanya dalil yang secara jelas dari al-quran atau pun hadits. Namun muridnya berpendapat, bahwa wanita tersebut tetap dikategorikan sebagai wanita suci. Hanya saja pendapat tersebut diselisihi oleh Al Ajhuri yang mengatakan bahwa wanita tersebut harus menginggalkan shalat dan puasa pada saat darahnya keluar, sebab ada kemungkinan darah tersebut memang benar-benar darah haid, sebagaimana wanita tersebut juga harus mengqada ibadahnya, sebab darah tersebut juga berpotensi bukan darah haid.
Imam As Shawi mengatakan, “Jika darah haid keluar karena pengaruh obat pada saat waktu haid (kebiasaan) atau setelahnya, maka itu dikategorikan darah haid”.
Mengkonsumsi Obat Anti Haid di Bulan Ramadhan,
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya :
Sebagian wanita sengaja mengkonsumsi pil anti haid pada bulan Ramadhan, agar bisa puasa penuh sehingga tidak perlu mengqadha’ pada waktu yang lain. Apakah ini boleh dilakukan ? Apakah ada persyaratan yang bisa dilakukan oleh kaum wanita ?
Beliau menjawab:
Menurut saya, dalam masalah seperti ini sebaiknya seorang wanita tidak melakukannya dan membiarkan dirinya sebagaimana yang telah ditakdirkan oleh Allah Ta’ala dan menjalani apa yang telah tetapkan buat kaum Hawa. Allah Ta’ala menakdirkan kejadian bulanan ini pasti untuk suatu hikmah. Dan hikmah ini sesuai dengan tabi’at kaum wanita. Jika ini kemudian dihalangi, maka tidak diragukan lagi akan menimbulkan reaksi negatif bagi tubuh, padahal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda :
“Tidak boleh memudharatkan diri dan tidak boleh memudharatkan orang lain.”
Ini tanpa memandang bahaya yang dapat ditimbulkan oleh pil-pil ini bagi rahim, sebagaimana dijelaskan oleh para dokter. Jadi menurut saya, sebaiknya kaum wanita tidak menggunakan pil-pil ini. Dan alhamdulillah atas takdir dan hikmah-Nya, jika tiba masa haid bagi kaum wanita yang berpuasa, maka dia tidak boleh puasa dan shalat. Kalau sudah selesai, baru memulai puasa dan shalat. Kalau bulan Ramadhan sudah usai, maka dia bisa mengqadha’ puasa yang terlewatkan.
0 comments:
Post a Comment